Powered By Blogger

Sabtu, 15 Oktober 2011

Proklamasi Presiden Truman 1945 tentang “Continental Shelf”.


Proklamasi Presiden Truman 1945 tentang “Continental Shelf”.
Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman mengeluarkan pernyataan tentang  klaim Pemerintah Amerika Serikat atas “continental shelf” yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat.
Dari penjelasan yang  dikeluarkan  bersama dengan Proklamasi Truman  tersebut yang mendorong diadakannya proklamasi tersebut adalah kebutuhan untuk  mencadangkan kekayaan mineral terutama minyak bumi untuk kepentingan Amerika  Serikat dan mengatur exploitasi dengan sebaik-baiknya. Dari hasil penelitian dapat diperoleh keyakinan, bahwa daerah seluas 760.000 mil persegi di “continental shelf”  atau daerah di bawah permukaan laut, yang berbatasan dengan pantai Amerika  Serikat mengandung banyak cadangan-cadangan minyak bumi dan mineral lainnya  dan didukung oleh teknik pengeboran lepas pantai yang memungkinkan pengambilan  atau penggalian sumber-sumber kekayaan alam tersebut.
Adapun landasan teori yang dikemukakan Amerika Serikat untuk mengambil tindakan tersebut, karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan  alamiah (“natural prolongation”) daripada wilayah  daratan Amerika Serikat dan  bagaimanapun usaha-usaha untuk mengolah kekayaan yang terkandung di dalamnya memerlukan kerjasama dan perlindungan dari pantai, dan berada di  bawah yurisdiksi dan kontrolnya. Tindakan Amerika Serikat ini  tidak mengganggu  kebebasan pelayaran di laut lepas yang  berada di atas continental shelf.  Dan  menegaskan bahwa kedaulatan atau  yurisdiksi penuh tetap terbatas pada laut  teritorial  3 mil. (lihat, Mochtar, Bunga Rampai .., hal. 109-110).
Dengan memperhatikan konfigurasi dasar laut sebagaimana yang telah dijelaskan, maka doktrin Truman mengenai “continental shelf” ini merupakan  tonggok sejarah dalam perkembangan hukum laut yang didasarkan atas pengertian  geologis “continental shelf” atau dataran kontinen. Pada waktu itu Presiden Truman  belum  lagi  menentukan kriteria apa yang dinamakan dengan “continental shelf”  tersebut, tapi menegaskan Amerika Serikat  tidak menuntut “continental shelf”  sebagai wilayah Amerika Serikat, melainkan hanya menuntut kekayaan alamnya,  dan status perairan di atasnya tetap sebagai laut lepas (Mochtar, hal. 84-85).
Sebenarnya di dalam  sejarah  hukum  laut sudah ada preseden daripada  penguasaan atau pengambilan kekayaan alam dari dasar laut, seperti penambangan  batubara di Selat Inggris  (English  Channell) di Cornwall dan pengambilan mutiara  dari dasar laut dekat pantai Ceylon dan di teluk Persia yang di dasarkan atas hukum  kebiasaan  yang berlaku sejak dahulu kala.  Lain daripada itu perjanjian antara  Venezuela dan Inggris tahun 1942  yang membagi dasar laut yang terletak antara  Venezuela dan Trinidad dan Tabago di luar laut teritorial Inggris dan Venezuela.
Sesudah lahirnya doktrin Truman “continental shelf”,  praktek yurisdiksi  negara atas dasar laut terhadap hak penguasaan sumber-sumber kekayaan alamnya  dan  daerah  di bawah dasar laut yang berbatasan dengan pantai telah melepaskan  dari keharusan adanya “effective occupation”. Dilepaskannya yurisdiksi Negara dari  keharusan adanya effective  occupation dan dikaitkan dengan konsepsi “continental shelf”, hal ini merupakan suatu perkembangan doktrin yang cukup radikal. (Mochtar,
Hukum.., 1978, 87).  
Secara geologis sebenarnya batas  luar daripada “continental shelf” tidak  menampakkan suatu kedalaman yang sama  atau jarak (dari pantai) yang  sama,  karena “continental shelf” dari seluruh benua ini tidak menunjukkan ciri yang sama.  Ada batas “continental shelf”nya yang  tidak berapa jauh dari pantai ada yang  jaraknya hingga beberapa ratus mil dari pantai. Sama halnya dengan batas  kedalaman daripada batas luar (“outer limit”) daripada “continental shelf”  tidak   menunjukkan  batas yang sama. Demikian  juga tulisan para sarjana terdapat  perbedaan dalam menentukan  batas-batas kedalaman daripada batas luar  “continental shelf”. Dalam Proklamasi Truman batas kedalam outer  limit dikatakan 100 fathom atau 200 meter. Batas kedalaman 100 fathom outer limit continental  shelf ini, merupakan batas kedalaman rata-rata yang ditetapkan dalam  Proklamasi  Truman tersebut untuk memudahkan pembatasan pengertian “continental shelf”.  Proklamasi Truman “continental shelf” ini dalam waktu relatif singkat telah mendorong  negara-negara pantai lainnya di belahan bumi ini untuk menuntut  penguasaan kekayaan alam yang terdapat dalam dasar laut dan tanah di bawahnya  (“seabed and subsoil”) yang berbatasan  dengan pantainya. Negara pertama yang  mengikuti tindakan Amerika Serikat, adalah Mexico dengan mengeluarkan Deklarasi pada tanggal 28 Oktober 1945, disusul tahun berikutnya oleh Panama 1 Maret 1946,  dan Argentina 9 Oktober 1946. Kemudian  tuntutan negara-negara Amerika  Latin  lainnya seperti Chili dan Peru 1947 dan Costarica 1948. Tuntutan negara-negara  Amerika  Latin ini tidak saja menuntut kekayaan alamnya tetapi juga mengklaim  kedaulatan atas perairannya dan udara diatasnya. (Churchil, 119).  Negara-negara lain yang berkumpul yang menyusul Proklamasi Truman, yaitu  Bahama 1948, Yamaica 1948, Saudi Arabia 1948 dan  sembilan  keseikhan di Teluk  Persia di bawah Protektorat Inggris 1948 dan Australia 1947 (Ian Brownlie,  Principle.., 1979, 223-224).  Dari negara Asia lainnya : Filiphina 1949, Pakistan 1950 mengeluarkan suatu  Deklarasi yang mengklaim dasar laut hingga kedalaman 200 meter termasuk wilayah  Pakistan  (Mochtar,  Hukum  ..,  1978, 91). Dan masih banyak lagi negara-negara  lainnya yang tidak disebutkan dalam tulisan ini. Tindakan sepihak dari negara-negara tersebut di atas dalam  mengikuti  Proklamasi Truman menunjukkan suatu perkembangan baru yang tidak kecil artinya  dalam hukum laut internasional. Meskipun ada tantangan terhadap beberapa klaim  yang ekstrim seperti pernyataan dari negara-negara Amerika Latin (Argentina, Chili  dan Peru) dan Pakistan atas “continental shelf” dan perairan yang ada  diatasnya,  gagasan  bahwa suatu negara mempunyai hak-hak eksklusif atas kekayaan alam  yang terdapat dalam “continental shelf” (dataran kontinen) yang berbatasan dengan  pantainya secara umum dapat diterima.  Dapat  dikatakan menjelang Konperensi Hukum  lLaut PBB I di Jenewa tahun 1958 lembaga “continental shelf” ini telah  menjadi lembaga hukum laut internasional melalui hukum kebiasaan. Karena itu negara-negara peserta Konperensi tidak banyak menemui kesukaran  dalam  merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak dan  kekuasaan  Negara pantai atas ““continental shelf”



Hari nusantara yang diperingati sebagai momen diumumkannya Deklarasi Djuanda tanggal 13 desember 1957 yang telah menggemparkan masyarakat internasional dan tidak langsung diterima oleh dunia, termasuk Amerika Serikat dan Australia yang notabenenya adalah negara daratan.
Deklarasi Djuanda yang dicetuskan Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebelum deklarasi tersebut, wilayah NKRI hanya mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 kilometer persegi (km²) dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional. Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar ( kecuali Irian Jaya), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut.
Pada tahun 1999, Presiden Soeharto mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan hari ini dipertegas dengan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional. Kini, meski Deklarasi Djuanda telah memasuki usia 53 Tahun, namun keberadaannya masih saja menuai pro dan kontra, termasuk soal penggunaan nama Djuanda.
Dimyati Hartono menilai, ada salah kaprah tentang penyebutan peraturan undang-undang terkait dengan deklarasi tersebut. Pasalnya, produk hukum aslinya adalah Pengumuman Pemerintah Tanggal 13 Desember 1957 Tentang Perairan Indonesia.
“Dengan tetap menghormati jasa Perdana Menteri Djuanda yang menandatangani gagasan ini, dilihat dari sistem hukum nasional, sebenarnya kita tidak mengenal penyebutan nama produk hukum berdasarkan nama penandatangannya,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, perdebatan juga terjadi berkaitan dengan sosok penggagas Deklarasi Djuanda. Sebab, berdasarkan keterangan Mochtar Kusumaatmadja yang saat itu menjadi salah satu tim penyusun RUU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim, bahwa tim tersebut telah berhasil menyusun lebar laut teritorial seluas 12 mil sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam hukum internasional.
Kemudian Chaerul Saleh (Menteri Veteran) mendatangi Mochtar dan menyatakan ketidaksetujuan dengan usulan tim penyusun. Alasannya adalah jika aturan diterapkan maka terdapat laut bebas antara pulau-pulau di Indonesia sehingga kapal-kapal asing bisa bebas keluar masuk. Hal tersebut jelas dapat “mengganggu” kedaulatan Indonesia yang masih berumur muda. Saran dari Chaerul Saleh adalah untuk menutup perairan dalam (Laut Jawa) sehingga tidak ada kategori laut bebas didalamnya. Mochtar lantas menjawab tidak mungkin karena tidak sesuai dengan hukum internasional saat itu dan berjanji untuk mendiskusikanya dengan tim.
Hari Jumat 13 Desember 1957, tim RUU Laut Teritorial menghadap kepada Perdana Menteri Djuanda untuk menjelaskan perihal hasil rancangan tim. Mochtar Kusumaatmadja sebagai ahli hukum internasional (hukum laut) tampil ke depan untuk menjelaskan. Kemudian diputuskan untuk menerima sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda.
Fakta di atas memunculkan tiga aktor penting hingga dikeluarkanya Deklarasi Djuanda, yaitu; Djuanda, Mochtar Kusumaatmadja dan Chaerul Saleh. Satu hal yang pasti ialah deklarasi Djuanda merupakan keputusan Djuanda karena posisi dia saat itu sebagai pengambil kebijakan. Lalu apakah ide negara kepulauan merupakan konsep dari Chaerul Saleh, karena berdasarkan kesaksian Mochtar di atas bahwa ide untuk menutup Laut Jawa merupakan saran dari beliau? jawabanya belum pasti, karena terbukti ide tersebut sudah dibahas oleh Muhammad Yamin dalam rapat BPUPKI tahun 1945.
“Tanah air Indonesia ialah terutama daerah lautan dan mempunyai pantai yang panjang. Bagi tanah yang terbagi atas beribu-ribu pulau, maka semboyan mare liberum (laut merdeka) menurut ajarah Hugo Grotius itu dan yang diakui oleh segala bangsa dalam segala seketika tidak tepat dilaksanakan dengan begitu saja, karena kepulauan Indonesia tidak saja berbatasan dengan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, tetapi juga berbatasan dengan beberapa lautan dan beribu-ribu, selat yang luas atau yang sangat sempit.
Di bagian selat dan lautan sebelah dalam, maka dasar “laut merdeka” tidak dapat dijalankan, dan jikalau dijalankan akan sangat merendahkan kedaulatan negara dan merugikan kedudukan pelayaran, perdagangan laut dan melemahkan pembelaan negara.
Oleh sebab itu, maka dengan penentuan batasan negara, haruslah pula ditentukan daerah, air lautan manakah yang masuk lautan lepas. Tidak menimbulkan kerugian, jikalau bagian Samudea Hindia Belanda, Samudera Pasifik dan Tiongkok Selatan diakui men­jadi laut bebas, tempat aturan laut merdeka. Sekeliling pantai pulau yang jaraknya beberapa kilometer sejak air pasang-surut dan segala selat yang jaraknya kurang dari 12 km antara kedua garis pasang-surut, boleh ditutup untuk segala pelayaran di bawah bendera negara luaran selainnya dengan seizin atau perjanjian negara kita,” ujar Yamin ketika itu.
Terlepas  dari itu, kolaborasi antara Djuanda, Chaerul Saleh dan Mochtar Kusumaatmadja telah berhasil merumuskan sebuah politik hukum yang menguntungkan kepentingan republic dan hebatnya, Deklarasi Djuanda dapat diterima oleh masyarakat internasional dan konsepsi negara kepulauan ditetapkan menjadi bagian hukum internasional dengan dicantumkannya dalam United Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS) pada tahun 1982.
Sayangnya, hingga saat ini Deklarasi Djuanda itu hanya tinggal menjadi catatan sejarah dan perayaan seremonial belaka. Belum Nampak kebangkitan Indonesia untuk menjadikan dirinya sebagai negara maritim.
Pakar kelautan, Hasyim Djalal merupakan salah satu tokoh yang tidak bisa menutupi kekecewaannya. Dia menyesalkan tidak adanya lagi perhatian pemerintah terhadap perkembangan Negara Kepulauan seperti yang dicetuskan dalam Deklarasi Djuanda.
“Pemerintah beserta stakeholder yang ada seharusnya terus mendorong perkembangan itu. Saya sendiri saat ini bagaimana caranya mengembalikan kepada prinsip kelautan, karena saat ini sangat sulit. Bagaimana caranya mengembalikan semangat kelautan yang ada, bahari yang ada seperti pada zaman Majapahit. Sementara Pemerintah dalam hati kecilnya, selalu mengatakan iya mengenai maritim,” ucapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar