Powered By Blogger

Sabtu, 15 Oktober 2011

Hukum Administrasi Negara Dilihat Dari Sistem Perpajakan Serta Filisofis Dasar Pajak


BAB I
PENDAHULAN
1.1.         Latar Belakang
Pada dasarnya definisi Hukum Administrasi Negara sangat sulit untuk dapat memberikan suatu definisi yang dapat diterima oleh semua pihak, mengingat Ilmu Hukum Administrasi Negara sangat luas dan terus berkembang mengikuti arah pengolahan/penyelenggaraan suatu Negara.
Namun sebagai pegangan dapat diberikan beberapa definisi dari para Ahli sebagai berikut :
1. Oppen Hein mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenagnya yang telah  diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara.
2. Logemann mengatakan Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat dari norma-norma yang menguji hubungan Hukum Istimewa yang diadakan untuk memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas mereka yang khusus.
            Kemudian dilihat daari fungsi hukum administrasi negara Secara spesifik, fungsi HAN dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, yakni fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Ketiga fungsi ini saling berkaitan satu sama lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah jelas berkaitan erat dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan pada akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.
Setelah kita mengetahui pengertian dan fungsi hukum administrasi Negara. Bahwa system keadministrasian Negara termasuk didalamnya ialah perpajakan, perpajakan ialah salah satu dari pemasukan Negara yang sangat seknifikan sehingga sering terjadi tindak pidana.
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan sedangkan Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
1.2.        Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas maka penulis mengambil masalah antarlain :
1.      Pandangan Sarjana Dan Hukum Positif Terhadap Proses Pemungutan Pajak?
2.      Nilai-Nilai Filosofis Dalam Pemungutan Pajak?
3.      Meninjau Asas-Asas Yang Telah Menjadi Dasar Pemungutan Pajak?
4.      Meninjau Dasar Filosofis Dilakukannya Pemungutan Pajak?
5.      Memahami Makna Arti Hukum Pajak Yang Sesungguhnya?
6.      Mengetahui jenis dan fungsi pajak.?












                                                     BAB II
                                               PEMBAHASAN
2.1.  Pandangan Sarjana Dan Hukum Positif Terhadap Proses Pemungutan Pajak
Sesuai dengan proses pemungutan pajak, maka hukum pajak telah dibentuk oleh Negara untuk melakukan pemungutan pajak kepada rakyatnya, supaya dapat memberikan suatu pembenaran terhadap seluruh kebijakan pemerintah yang mewakili Negara dalam proses pemungutan pajak.
Untuk itulah, hukum pajak yang dibentuk oleh Negara harus memperhatikan aspek-aspek yuridis dan social, demi terwujudnya fungsi pajak.
Nilai-nilai filosofis yang mendasari tata cara pemungutan pajak oleh Negara kepada rakyat, merupakan hal yang penting untuk mengetahui keabsahan dari kegiatan pemungutan pajak. Oleh karena itu, penulis bermaksud menguraikan beberapa teori yang mendasari tata cara pemungutan pajak,seperti teori asuransi, teori kepentingan, teori gaya pikul, teori kewajiban pajak mutlak atau teori baku, dan teori asas gaya beli.
1.   Teori Asuransi, yaitu teori yang mendasari pada tugas negara untuk melindungi orang dan segala kepentingannya yaitu keselamatan dan keamanan jiwa, serta harta benda. Dalam perjanjian asuransi (pertanggungan), maka untuk melindungi hal tersebut diperlukan pembayaran premi, dan dalam hal ini pajak yang dianggap sebagai preminya yang pada waktu-waktu tertentu harus dibayar oleh peserta, walaupun perbandingan dengan perusahaan asuransi tidak tepat, karena :
a. dalam timbul kerugian, tidak adalah suatu penggantian dari negara;
b. antara pembayaran jumlah pajak dengan jasa-jasa yang diberikan oleh negara, tidaklah terdapat hubungan yang langsung.
Teori ini oleh para penganutnya dipertahannkan, sekedar untuk memberi dasar hukum pajak saja, karena pincangnya persamaan tadi yang menimbulkan ketidak puasan, disamping itu bahwa pajak bukan retribusi bahwa orang yang membayar berhak mendapatkan kontraprestasi yang langsung, sehingga penganut teori ini makin berkurang, karena pembayaran pajak tidak dapat disamakan dengan pembayaran premi oleh sesorang kepada perusahaan peretanggungan.
2.   Teori Kepentingan, yaitu teori yang pada awalnya hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya, termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Oleh karena itu menurut teori ini, sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan kepada mereka.
Teori ini banyak mendapat sanggahan, karena dalam ajarannya bahwa pajak dikacaukan dengan retribusi untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu perlindungan terhadap harta benda yang lebih banyak harganya daripada harta si miskin, diharuskan membayar pajak yang lebih besar pula, padahal dalam hal tertentu simiskin mempunyai kepentingan tertentu yang lebih besar, misalnya hak untuk perlindungan jaminan sosial sehingga sebagai konsekwensinya seharusnya membayar pajak yang lebih besar. Selain itu, belum ada alat ukur untuk mengambil kepentingan seseorang, sehingga sukar sekali ditentukan dengan tegas.
3.   Teori Gaya Pikul, yaitu teori yang menganggap bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya, seperti perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk keperluan ini diperlukan biaya yang dipikulkan oleh seluruh orang yang menikmati perlindungan itu, yaitu dalam bentuk pajak.
Menurut Sinninghe Damste, menjelaskan bahwa, selain dari gaya pikul juga harus pula diperhatikan kepentingan-kepentingan yang lain dari wajib pajak.
Menurut de Langen, menjelaskan bahwa, asas gaya pikul hingga kini masih tetap merupakan asas yang terpenting dalam hukum pajak, walaupun tidak disangkal bahwa ada asas lain yang juga menduduki tempat pertama, seperti asas perolehan utama dan asas kenikmatan, bahwa pajak dapat dipungut seimbang dengan jasa-jasa pemerintah yang telah dinikmati oleh wajib pajak seperti dalam jual beli, bahwa membayar sesuatu seimbang dengan apa yang diperolehnya..
Menurut de Langen, bahwa gaya pikul adalah kekuatan untuk membayar uang kepada negara, jadi untuk membayar pajak, setelah dikurangi dengan minimum kehidupan yang besarnya tergantung dari jumlah uang yang ada pada seseorang baik yang berupa penghasilan maupun yang berupa kekayaan, sehinga de Langen mendifinisikan bahwa gaya pikul adalah besarnya kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasaan kebutuhan setinggi-tingginya, setelah dikurangi dengan yang mutlak untuk kebutuhan yang primer.
4.   Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Baku), yaitu teori yang berbeda dari teori sebelumnya yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori berdasarkan atas paham Organische Staatsleer bahwa negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan telah diakui sejak berabad-abad yang lalu bahwa sebagai tanda bukti bakti kepada negara maka orang mempunyai kewajiban untuk membayar pajak.
Menurut Van den Berge, bahwa negara sebagai groepsverband (organisasi dari golongan) dengan memperhatikan syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan umum dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukannya, termasuk juga tindakan dalam pajak. Sehingga dasar hukum pajak terletak dalam hubungan rakyat dengan negara yang memungut pajak.
5.   Teori Asas Gaya Beli, yaitu teori yang lebih modern, karena tidak mempersoalkan asal mulanya negara memungut pajak, melainkan hanya melihat kepada efeknya, dan memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini seperti halnya pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara, dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya kearah tertentu. Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan pula bukan kepentingan negara, tetapi kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya. Sehinga teori ini menitik beratkan ajaran kepada fungsi kedua dari pemungutan pajak, yaitu fungsi mengatur.
Menurut Adriani bahwa teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam massa ekonomi bebas maupun dalam massa ekonomi terpimpin, bahkan pula dalam masyarakat yang sosialis, walaupun tidak terluput dari adanya variasi dalam coraknya, tidak seperti halnya dalam teori terdahulu yang hanya berlaku selama masa tertentu.
Di dalam Pasal 23 (ayat 2) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa , segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak harus ditetapkan dengan undang-undang yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam pemungutan pajak yang ideal, pemungutan pajak harus dapat mencerminkan keempat unsur dari Adam Smith's Canon, sehingga tidak terjadi sebuah keadaan yang memberikan Fiskus (negara) hak yang absolut tanpa memberikan sedikit pun hak untuk para wajib pajak. Seperti Ordonansi Pajak Pendapatan tidak diatur tentang kelonggaran-kelonggaran yang diberikan kepada wajib pajak yang disebabkan beban-beban istimewa.
Menurut Staatsblad 1929 No. 187 yang diubah dalam Staatsblad 1940 No. 226, menjelaskan bahwa, di dalam pelaksanaan peraturan-peraturan pajak yang bertentangan atau akan bertentangan dengan kepentingan umum ataupun akan menyebabkan ketidak adilan yang besar, maka dapat dikembalikan (dipulihkan) dengan adanya ordonansi keadilan yang mengatur tentang kekuasaan Presiden untuk mengembalikan atau membebaskan pajak. Seperti di Nederland, bahwa kebutuhan istimewa wajib pajak yang mengakibatkan beban yang besar bagi wajib pajak tersebut, dapat diringankan pemungutan pajaknya dengan dimasukkan ke dalam buitengenewone lasten, sehingga apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka harus mendapat perhatian Fiskus (Besluit Inkomstenbelasting 1941 pasal 51 ayat 1 dan 2 sub 2).
2.2.  Nilai-Nilai Filosofis Dalam Pemungutan Pajak
Keberadaan hukum pajak di setiap Negara harus dapat memberi jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2, bahwa pengenaan dan pemungutan pajak (termasuk bea dan cukai) untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-undang.
Apabila meninjau pada hakikat pajak, maka pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor rakyat ke sektor pemerintah untuk membiayai pengeluaran Negara, tanpa mendapatkan kontraprestasi secara langsung terhadap individu.
Perlu diketahui, bahwa peralihan kekayaan dari satu sektor ke sektor yang lain tanpa adanya kontraprestasi, yang dapat terjadi hanya karena suatu hibah atau kekerasan dan paksaan, yaitu dalam peristiwa perampasan atau perampokkan. Oleh karena itu di Inggris berlaku suatu dalil yang berbunyi No taxation without representation dan di Amerika Taxation without representation is robbery.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, telah memberikan persoalan kedudukan pajak yang terbatas, karena seperti yang telah diketahui oleh penulis, pajak bukan sebuah hibah dan bukan sebuah perampokan.
Untuk mengetahui hakikat pajak dan hukum pajak, maka penulis akan menjelaskan pengertian-pengertian pajak dari berbagai sumber kepustakaan, sebagai berikut.
1.   Pajak menurut Adriani, bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipakaskan) yang terhutang oleh yang membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pajak merupakan bagian dari pungutan yang menitik beratkan pajak pada fungsi budgeter dan pengaturan.
2.   Pajak menurut definsi Prancis, bahwa pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang untuk menutup belanja pemerintah.
3.   Pajak menurut Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919), bahwa pajak adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (=negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu tatbestand (=sasaran pemajakan), yang karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak.
4.   Pajak menurut Edwin, bahwa uang pajak digunakan untuk produksi barang dan jasa, jadi benefit diberikan kepada masyarakat hanya tidak mudah ditunjukkannya apalagi secara perorangan.
5.   Pajak menurut Feldman, bahwa pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum) tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran umum
6.   Pajak menurut Smeets, bahwa pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual untuk membiayai pengeluaran pemerintah
7.   Pajak menurut Soeparman, bahwa pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahtraan umum.
8.   Pajak menurut Rohmat Soemitro, bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut penulis, keberadaan pajak diakibatkan karena fungsi pajak yang dibutuhkan oleh setiap Negara (fungsi mengisi kas Negara dan fungsi mengatur), karena Negara harus memberikan perlindungan dan pelayanan bagi rakyatnya, sehingga Negara menciptakan pajak untuk mengumpulkan dana, supaya dapat melindungi dan melayani rakyatnya.
Di dalam mengetahui tujuan hukum pajak, maka sebelumnya perlu diketahui tujuan hukum secara umum sebagai landasan bagi hukum pajak.
Secara umum, tujuan hukum telah banyak dikemukakan oleh para ahli, seperti Aristoteles dalam bukunya Rhetorica, yang menganggap bahwa hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan. Selain untuk mencapai keadilan, menurut para ahli lainnya, hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban, kepastian hingga untuk mencapai kebahagian. Sedangkan tujuan hukum pajak secara umum, adalah menciptakan keadilan di dalam pemungutan pajak yang dilakukan oleh penguasa (Negara) kepada masyarakatnya.
Perlu diketahui, bahwa nilai adil di setiap Negara dalam pemungutan pajak sangat berbeda, seperti di Jepang pegawai negeri dibebaskan dari pajak pendapatan karena dipandang adil, karena pegawai negeri telah langsung menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada pemerintah.
Di dalam melakukan pemungutan pajak, keadilan memang sangat sulit di dalam praktek pelaksanaannya, tetapi dengan adanya azas-azas yang menjiwai setiap hukum pajak, diharapkan pemungutan pajak dapat dilakukan secara baik (proposional).
Dalam abad ke-18, Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (terkenal dengan nama Wealth of Nations) melancarkan ajarannya sebagai azas pemungutan pajak yang dinamainya "The Four Maximx" dengan uraiannya sebagai berikut :
1. Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, di bawah perlindungan pemerintah (asas-pembagian/asas kepentingan). Dalam asas "equality" ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.
2. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (not arbitary). Dalam asas "certainty" ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.
3. "Every taxt ought to be levied at the time, or ini the manner, in which it is most likely to be convenient for the contributor to pay it." Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut "convenience of payment", menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak , yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
4. "Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the pockets of the people as little as possible over and above what it brings into the public treasury of the State." Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya, sehingga dapat dihindari terjadinya biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.
Perlu diketahui bahwa asas yuridis , asas ekonomis, dan asas finansial telah dimiliki oleh "The Four Maxims" diatas, seperti asas keadilan dalam maxim pertama (1), asas yuridis dalam maxim kedua (2), dan asas ekonomis dan finansial dianut di dalam maxim ketiga (3) dan Keempat (4).
2.3.   Meninjau Asas-Asas Yang Telah Menjadi Dasar Pemungutan Pajak
A. Asas Yuridis
Hukum pajak harus dapat memberi jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya. Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2, bahwa pengenaan dan pemungutan pajak (termasuk bea dan cukai) untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-undang., karena pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor rakyat ke sektor pemerintah untuk membiayai pengeluaran negara. Untuk ini tidak dapat ditunjuk kontraprestasi secara langsung terhadap individu. Padahal peralihan kekayaan dari satu sektor ke sektor yang lain tanpa adanya kontraprestasi, hanya dapat terjadi bila terjadi suatu hibah. Kemungkinan lainnya adalah hanya bilamana peralihan kekayaan itu terjadi karena kekerasan/paksaan, yaitu dalam peristiwa perampasan atau perampokkan. Oleh karena itu di Inggris berlaku suatu dalil yang berbunyi No taxation without representation dan di Amerika Taxation without representation is robbery.
Pasal 23 (ayat 2) UUD 1945 bahwa segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak harus ditetapkan dengan undang-undang yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam pemungutan pajak harus mengindahkan keempat unsur dari Adam Smith's Canon, sehingga tidak ada cara-cara lama akan terulang, yaitu Fiskus hanya dicantumkan haknya, dan untuk wajib pajak hanya kewajibannya saja, tetapi kedua-duanya harus diatur rapi pada pihak masing-masing In concerto secara umum tidak boleh dilupakan hal-hal sebagai berikut :
1. Hak-hak Fiskus yaitu Direktorat Jendral Pajak dan Direktorat Jendral Bea Cukai yang telah diberikan oleh pembuat undang-undang harus dijamin dapat dilaksanakannya dengan lancar, karena telah diketahui oleh umum, bahwa dalam prakteknya para wajib pajak suka mencoba dengan secara legal ataupun tidak untuk menghindarkan diri dari yang telah ditentukan dalam undang-undang pajak, keadaan semacam ini harus diatasi dengan penggunaan peraturan-peraturan dalam undang-undang lengkap dengan sanksi-sanksinya.
2. Para wajib pajak harus mendapat jaminan hukum, agar tidak diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh Fiskus dengan aparaturnya. Segala sesuatu harus diatur dengan terang dan tegas, tidak hanya mengenai keawjiban-kewajiban, tetapi juga mengenai hak-hak wajib pajak, antara lain : untuk dalam tingkat pertama mengajukan keberatan kepada kepala Inspeksi Pajak yang menetapkan pajaknya, mengenai ketetapannya termasuk juga hak wajib pajak untuk mengajukan banding ke Majelis Pertimbangan Pajak apabila telah ditolak keberatannya.
3. Jaminan terhadap tersimpannya rahasia mengenai diri atau perusahaan wajib pajak kepada Instansi Pajak dan tidak disalah gunakan oleh pejabatnya.
Keharusan merahasiakan data-data yang diperlihatkan pada Fiskus tidak boleh disalah gunakan dan adanya perlindungan bagi Fiskus untuk menolak memerlihatkan data wajib pajak, sehingga akan meningkatkan kepercayaan rakayat dan tidak ada data yang disembunyikan untuk memberikan informasi tentang data yang diperlukan untuk kepentingan penetapan pajak. Dalam pelaksanaannya diadakan pengecualian terhadap setiap pejabat pada Fiskus demi keharusannya untuk menjadi saksi bila diperlukan untuk kepentingan peradilan. Pengecualian lainnya terdapat dinegara lain seperti Australia ilah Auditor General (Badan Pemeriksa Keungan) mempunyai wewenang untuk mengadakan pemeriksaan sampai pada berkas-berkas individual wajib pajak di kantor-kantor Inspeksi Pajak. Pengecualian ini didasarkan pada :
1. Auditor General beserta segenap pelaksana dalam seluruh aparaturnya pekerjaannnya untuk penyelenggaraan kepentingan umum karena harus mengawasi keuangan negara yang bukan hanya menyangkut segi pengeluarannya saja.
2. Auditor General terikat kepada kewajiban merahasiakan seperti juga Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Tidak semua negara menggunakan kriteria yang sama mengenai apa yang dianggap sebagai kepentingan umum. Sanksi pelanggaran di Indonesia tercantum dalam pasal 322 KUHP pasal 21 dan 25 Ord. Pajak Pendapatan dan Ord. Pajak perseroan pasal 47 dan 49 (lihat juga pasal 15 Hukum Pidana).
Dalam membuat undang-undang, si pembuat harus telah memperhatikan segala sesuatu yang berpangkal pada keadilan, tetapi adakalnya terdapat suatu hal yang belum terfikirkan dalam kondisi saat itu, sehingga berakibat kurang adil dalam pelaksanaan undang-undang pajak.. Contohnya dalam Ordonansi Pajak Pendapatan tidak diatur tentang kelonggaran-kelonggaran yang diberikan kepada wajib pajak karena beban-beban istimewa. Orang yang berpenghasilan bersih sejuta rupiah setahunnya, dan karena menderita suatu penyakit sehingga setiap bulannya harus mengeluarkan ongkos dokter dan obat-obatan, tetapi tidak mendapat potongan untuk perhitungan pajaknya, berlainan halnya dengan di Nederland, bahwa ongkos-ongkos semacam itu dimasukkan ke dalam buitengenewone lasten yang jika memenuhi segala syarat-syaratnya harus mendapat perhatian Fiskus, seperti tercantum dalam Besluit Inkomstenbelasting 1941 pasal 51 ayat 1 dan 2 sub 2.
Dalam hal istimewa dalam hal pelaksanaan peraturan-peraturan pajak yang bertentangan atau akan bertentangan dengan kepentingan umum ataupun akan menyebabkan ketidak adilan yang besar, maka dapat dikembalikan (dipulihkan) dengan adanya ordonansi keadilan yang mengatur tentang kekuasaan Presiden untuk mengembalikan atau membebaskan pajak. Peraturan ini termuat dalam Staatsblad 1929 No. 187 yang diubah dalam Staatsblad 1940 No. 226, tetapi prosedurnya sangat berbelit, lagipula mengenai pengertian bertentangan dengan kepentingan umum dan menyebabkan ketidak adilan yang besar tidak ada yurisprudensinya tertentu.
B. Asas Ekonomis
Tidak mungkin suatu negara menghendaki merosotnya kehidupan ekonomi masyarakat karenanya maka politik pemungutan pajaknya:
1. Harus diusahakan supaya jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan.
2. Harus diusahakan, supaya jangan menghalang-halangi rakyat dalam usahanya menuju ke kebahagiaan dan jangan sampai merugikan kepentingan umum.
Sebagai contoh bahwa kepentingan umum harus tidak dirugikan karenanya ialah peraturan dalam sebuah undang-undang di Netherland berhubung dengan bencana alam yang menimpa rakyat Belanda dalam tahun 1953. Segala bantual finansial yang disumbangkan menurut saluran-saluran tertentu oleh orang-orang untuk mengatasi kesukaran-kesukaran para korban, dianggap sebagai pengeluaran-pengeluaran yang dapat dipergunakan untuk mengurangi jumlah pendapatan bersihnyan yang dikenakan pajak pendapatan. Dengan demikian maka kepentingan umum tidak teraniaya.
Kesimpulan penulis adalah, bahwa keseimbangan dalam kehidupan ekonomi tidak boleh terganggu karenanya, bahkan harus tetap dipupuk olehnya, sesuai dengan fungsi kedua dari pemungutan pajak, yaitu fungsi mengatur.
C. Asas Finansial
Sesuai dengan fungsi budgeternya, maka sudah barang tentu bahwa biaya-biaya untuk mengenakan dan untuk memungutnya harus sekecil-kecilnya, apalagi dalam bandingan dengan pendapatannya. Sebab inilah hasil yang dicapainya, yang harus dapat menyumbang banyak dalam menutup pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh negara, termasuk juga biaya-biaya untuk aparatur Fiskus sendiri.
Untuk menghindarkan tertimbunya tunggakkan-tunggakkan pajak, haruslah selalu diteliti, apakah syarat-syarat penting telah dipenuhi untuk dapat memungut pajak dengan efektif. Syarat ini antara lain adalah, bahwa pengenaan pajak harus dilakukan pada saat yang terbaik bagi yang harus membayaranya, yaitu harus sedekat-dekatnya saatnya dengan saat terjadinya perbuatan, peristiwa, ataupun keadaan yang menjadi dasar pengenaan pajak itu, sehingga sangat mudahnya dibayar oleh orang-orang bersangkutan.
Adalah sesuai pula dengan asas finansial, bahwa bilamana pembuat undang-undang (pajak) ingin menghapuskan satu macam pajak, Ia menilik terlebih dahulu, bagaimana keadaan keuangaan negara. Bilamana anggaran belanja itu mengijinkan, maka ini akan mendapat gelar bijaksana jika pajak tadi dipertahankan dulu untuk sementara waktu.
2.4.   Meninjau Dasar Filosofis Dilakukannya Pemungutan Pajak
Tujuan hukum pajak adalah membuat adanya keadilan dalam soal pemungutan pajak. Azas keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-undangannya maupun dalam prakteknya sehari-hari. Inilah sendi pokok yang seharusnya diperhatiakan baik-baik oleh setiap negara untuk melancarkan usahanya mengenai pemungutan pajak. Selain itu, yang dalam suatu negara dianggap adil, belum tentu dianggap demikian dalam negara lain. Misalnya : di Jepang pegawai negeri dibebaskan dari pajak pendapatan karena dipandangnya adil oleh sebab pegawai negeri telah langsung menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada pemerintah. Sejak 1 Januari 1964 di Indonesia demikian juga, dengan pengertian, bahwa pajak pendapatannya dipikul oleh pemerintah. Sebaliknya di negara-negara lain, tidaklah pernah disinggung-singgung tentang pengecualian pajak pendapatan bagi pegawai negeri.
Dalam abad ke-18, Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (terkenal dengan nama Wealth of Nations) melancarkan ajarannya sebagai azas pemungutan pajak yang dinamainya "The Four Maximx" dengan uraiannya sebagai berikut :
1. Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, di bawah perlindungan pemerintah (asas-pembagian/asas kepentingan). Dalam asas "equality" ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.
2. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (not arbitary). Dalam asas "certainty" ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.
3. "Every taxt ought to be levied at the time, or ini the manner, in which it is most likely to be convenient for the contributor to pay it." Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut "convenience of payment", menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak , yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
4. "Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the pockets of the people as little as possible over and above what it brings into the public treasury of the State." Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.
Prof. Hofstra dalam mengemukakan pendapatnya mengenai : "The Four Maxims" dari Adam Smith ini mengatakan bahwa dalam "formulasi klasik dari teori tentang pajak" itu terlihat adanya kepincangan dalam tubuh asas-asas tersebut, disamping kenyataan, bahwa cara perumusan Maxim pertama dirasakannya kurang tandas dan tuntas (exact). Misalnya : Oleh Adam Smith diwariskan kepada generasi penerusnya suatu persoalan penting , yaitu : Apa sajakah yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk mengukut "equality" tersebut ? Namun demikian, ungkapan (Adam Smith) itu merupakan sesuatu yang merumuskan suatu asas pemungutan pajak yang dalam prinsip diikuti oleh para sarjana (pengikutnya) sepanjang masa. Baru jauh kemudian (dimulai dengan John Stuart Mill, lebih kurang tahun 1830) ditemukan formulasi yang lebih konkret, yaitu bahwa dalam pajak atas pendapatan bukanlah pendapatan itu sendiri yang dipakai sebagai ukuran pengenaan pajak pendapatan, melainkan yang terkenal dengan nama "gaya pikul" ability to pay taxes.
Pada umumnya dalam hukum pajak, oleh sarjana-sarjana setelah (mangkatnya) Adam Smith, selain asas keadilan (yang tercakup dalam kategori besar di bawah nama "asas menurut falsafah hukum"), juga diajarkan asas-asas lain yang tidak kurang pentingnya untuk mendapatkan perhatian penuh, yaitu asas yuridis , asas ekonomis, dan asas finansial. Sebagaimana tercantum di dalam "The Four Maxims" yaitu : asas keadilan dalam maxim pertama asas yuridis dalam maxim ke-2, sedangkan asas ekonomis dan finansial masing-masing dalam maxim ke-3 dan ke-4.
Pembuatan undang-undang pajak harus selalu memegang teguh kepada asas keadilan, dalam falsafah hukum "The Four Maxims", maxim pertama menyatkan bahwa asas pemungutan pajak harus mengabdi kepada keadilan yang disebut asas pemungutan pajak, disamping asas-asas lainnya seperti yang yuridis, ekonomis dan finansial. Yang menjadi pertanyaan apakah pemungutan pajak oleh negara berdasarkan pula atas keadilan, apa dasa hukumnyanya, maka ada kewajiban membayar pajak, dengan perkataan lain atas dasar apakah maka negara seakan akan memberi hak kepada diri sendiri untuk membebani rakyat dengan pajak, karenanya sejak abad ke 18 timbullah pelbagai teori guna memberi dasar menyatakan keadilan (justification) kepada hak negara untuk memungut pajak dari rakyatnya.
Teori yang menyatakan hak negara untuk memungut pajak disesuaikan dengan pandangan hidup pada zaman tersebut yang harus dipahami dan diinsyafi oleh masyarakatnya. Teori tersebut, yaitu : a)teori asuransi, b) teori kepentingan, c) teori gaya pikul, d) teori kewajiban pajak mutlak atau teori baku, e) teori asas gaya beli.
1.      Teori Asuransi
Tugas negara untuk melindungi orang dan segala kepentingannya yaitu keselamatan dan keamanan jiwa, serta harta benda. Dalam perjanjian asuransi (pertanggungan), maka untuk melindungi hal tersebut diperlukan pembayaran premi, dan dalam hal ini pajak yang dianggap sebagai preminya yang pada waktu-waktu tertentu harus dibayar oleh peserta, walaupun perbandingan dengan perusahaan asuransi tidak tepat, karena : a) dalam timbul kerugian, tidak adalah suatu penggantian dari negara, b) antara pembayaran jumlah pajak dengan jasa-jasa yang diberikan oleh negara, tidaklah terdapat hubungan yang langsung.
Teori ini oleh para penganutnya dipertahannkan, sekedar untuk memberi dasar hukum pajak saja, karena pincangnya persamaan tadi yang menimbulkan ketidak puasan, disamping itu bahwa pajak bukan retribusi bahwa orang yang membayar berhak mendapatkan kontraprestasi yang langsung, sehingga penganut teori ini makin berkurang, karena pembayaran pajak tidak dapat disamakan dengan pembayaran premi oleh sesorang kepada perusahaan peretanggungan.
2.      Teori Kepentingan
Teori ini semula hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya, termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan kepada mereka.
Teori ini banyak mendapat sanggahan, karena dalam ajarannya bahwa pajak dikacaukan dengan retribusi untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu perlindungan terhadap harta benda yang lebih banyak harganya daripada harta si miskin, diharuskan membayar pajak yang lebih besar pula, padahal dalam hal tertentu simiskin mempunyai kepentingan tertentu yang lebih besar, misalnya hak untuk perlindungan jaminan sosial sehingga sebagai konsekwensinya seharusnya membayar pajak yang lebih besar. Disamping itu belum ada alat ukur untuk mengambil kepentingan seseorang, sehingga sukar sekali ditentukan dengan tegas.
3.       Teori Gaya Pikul
Menurut teori ini bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam jasa-jasa yang         diberikan oleh negara kepada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk keperluan ini diperlukan biaya yang dipikulkan oleh segenap orang yang menikmati perlindungan itu, yaitu dalam bentuk pajak.
Teori ini berdasarkan asas keadilan, yaitu tekanan pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang (bandingkan dengan maxim pertama). Pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang. Gaya pikul adalah besarnya penghasilan dan kekayaan juga pengeluaran atau pembelanjaan seseorang, sehingga teori ini masih dipertahankan oleh pakar pajak., namun masih timbul kesalah pahaman, seperti pendapat Sinninghe Damste yang telah berputar haluan dan berpendapat, bahwa selain dari gaya pikul juga harus pula diperhatikan kepentingan-kepentingan yang lain dari wajib pajak, sedangkan de Langen menyatakan bahwa asas gaya pikul hingga kini masih tetap merupakan asas yang terpenting dalam hukum pajak, walaupun tidak disangkal bahwa ada asas lain yang juga menduduki tempat pertama, seperti asas perolehan utama dan asas kenikmatan, bahwa pajak dapat dipungut seimbang dengan jasa-jasa pemerintah yang telah dinikmati oleh wajib pajak seperti dalam jual beli, bahwa membayar sesuatu seimbang dengan apa yang diperolehnya.
Menurut de Lange, bahwa setiap individu mendapat tekanan yang sama, seimbang dengan luasnya pemuasaan kebutuan yang diperlukan untuk kehidupan yang mutlak harus diabaikan, dan sisanya inilah yang disamakannya dengan gaya pikul seseorang. Perkataan dapat dipungut mengandung arti bahwa tabungan seseorang termasuk pula ke dalam pengertian gaya pikulnya. Menurut Cohen Stuart, bahwa gaya pikul disamakan dengan jembatan, yang pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba untuk dibebani. Beliau menyarankan bahwa yang sangat diperlukan untuk kehidupan harus tidak dimasukkan ke dalam pengertian gaya pikul. Kemampuan untukl membayar pajak setelah kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia, karena hak manusia yang pertama adalah hak untuk hidup, oleh karena itu yang pertama kali harus diperhatikan adalah hak atas asas minimum kehidupan.
4.      Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Baku)
Teori ini berbeda dari teori sebelumnya yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori berdasarkan atas paham Organische Staatsleer bahwa negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan telah diakui sejak berabad-abad yang lalu bahwa sebagai tanda bukti bakti kepada negara maka orang mempunyai kewajiban untuk membayar pajak.
Menurut Van den Berge, bahwa negara sebagai groepsverband (organisasi dari golongan) dengan memperhatikan syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan umum dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukannya, termasuk juga tindakan dalam pajak. Jadi dasar hukum pajak terletak dalam hubungan rakyat dengan negara yang memungut pajak daripadanya.
5.      Teori Asas Gaya Beli
Teori ini lebih modern, karena tidak mempersoalkan asal mulanya negara memungut pajak, melainkan hanya melihat kepada efeknya, dan memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini seperti halnya pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara, dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarkat dan untuk membawanya kearah tertentu. Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan pula bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya. Jadi teori ini menitik beratkan ajaran kepada fingsi kedua dari pemungutan pajak, yaitu fungsi mengatur.
Menurut Adriani bahwa teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam massa ekonomi bebas maupun dalam massa ekonomi terpimpin, bahkan pula dalam masyarakat yang sosialis, walaupun tidak terluput dari adanya variasi dalam coraknya, tidak seperti halnya dalam teori terdahulu yang hanya berlaku selama masa tertentu.
2.5.   Memahami Makna Arti Hukum Pajak Yang Sesungguhnya
Hukum pajak, yang juga disebut hukum fiskal, adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannnya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga Ia merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum ) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak). Tugasnya adalah menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum ini; dalam pada itu adalah penting sekali bahwa tidak harus diabaikan begitu saja latar belakang ekonomi dari keadaan-keadaan dalam masyarakat tersebut. Hukum pajak memuat pula unsur-unsur hukum pidana dengan acara pidananya. Yang terutama menarik perhatian para cendikiawan adalah seringnya berubah peraturan-peraturannya, yaitu sebagai akibat dari perubahan yang terdapat pada kehidupan ekonomi dalam masyarakat dimana perubahan ini mengahruskan pengubahan peraturan-peraturan pajaknya, demikian pula dengan negara-negara yang telah maju (juga dalam caranya mengatur pajaknya) yang telah dapat menyesuaikan segala aparaturnya dengan kebutuhan masyarakatnya untuk secepat-cepatnya bereaksi terhadap segala perubahan, terutama yang termasuk dalam lapangan perekonomian.
Pajak menurut Adriani adalah iuran kepada negara (yang dapat dipakaskan) yang terhutang oleh yang membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pajak merupakan bagian dari pungutan yang menitik beratkan pajak pada fungsi budgeter dan pengaturan. Prestasi dan fasilitas yang dikeluarkan oleh negara sebagian besar bersumber dari pajak, tetapi orang yang tidak membayar pajak pun mendapat fasilitas yang sama.. Beberapa definisi pajak pembanding sebagai berikut :
1. Pajak menurut definsi Prancis bahwa pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang untuk menutup belanja pemerintah.
2. Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919) menyatakan bahwa pajak adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (=negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu tatbestand (=sasaran pemajakan), yang karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak. 3. Edwin menyatakan bahwa uang pajak digunakan untuk produksi barang dan jasa, jadi benefit diberikan kepada masyarakat hanya tidak mudah ditunjukkannya apalagi secara perorangan.
4. Feldmann mendefinisikan, bahwa pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum) tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran umum
5. Smeets mendefinisikan, bahwa pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalaui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual untuk membiayai pengeluaran pemerintah
6. Soeparman mendefinisikan, bahwa pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahtraan umum.
7. Rohmat Soemitro mendefinisikan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.







2.6.  Jenis dan fungsi pajak
          A. Jenis Pajak
Di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu:
Sering disebut juga Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari:
Diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008
Diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan UU No. 42 Tahun 2009
Diatur dalam UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang diubah terakhir kali dengan UU No. 12 Tahun 1994
Diatur dalam UU No. 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2000
UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai


B.   Fungsi pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
  • Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
  • Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
  • Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
  • Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Administrasi Negara sangat sulit untuk dapat memberikan suatu definisi yang dapat diterima oleh semua pihak, mengingat Ilmu Hukum Administrasi Negara sangat luas dan terus berkembang mengikuti arah pengolahan/penyelenggaraan suatu Negara.
Kemudian dilihat daari fungsi hukum administrasi negara Secara spesifik, fungsi HAN dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, yakni fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Ketiga fungsi ini saling berkaitan satu sama lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah jelas berkaitan erat dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan pada akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum
Fungsi pajak terdiri atas empat ialah Fungsi anggaran (budgetair), Fungsi mengatur (regulerend),  Fungsi stabilitas, dan Fungsi redistribusi pendapatan, kemudian jenis-jenis pajak ialah pajak negara dan pajak daerah.









Hukum Administrasi Negara Dilihat Dari Sistem Perpajakan Serta Filisofis Dasar Pajak


 









NAMA : RINALDI LENGKAS
STAMBUK : D 101 09  243

UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS  HUKUM
20111
KATA PENGANTAR

            Puji syukur  saya panjatkan atas kehadirat Allah swt, karena atas berkat rahmatnyalah tugas ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu, tak luput saya mengucapkan terima kasih  kepada teman-teman yang telah bnyak membatu, dan saya juga banyak berterimah kasih kepada dosen mata kuliah hukum administrasi Negara  yang tak kenal lelah memberikan ilmunya kepada kami sebagai mahasiswanya.

            Namau dari penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, maka saya selaku penulis makalah ini saya mengharapkan saran dan keritik terhadap makalah ini agar dapat membangun tuk kembali bbaik dan sempurna.

            Sekinan
Palu,  15 maret 2011


Penulis










Daftar isi
HALAMAN
HALAMAN JUDUL             ………………………………………………………..          i
KATA PENGANTAR           ………………………………………………………..          ii
DAFTAR ISI                          ………………………………………………………..          iii
BAB I             PENDAHULUAN
1.1.  LATAR BELAKANG   ……………………………………….           1
1.2. RUMUSAN MASALAH           ……………………………………….           2
BAB  II           PEMBAHASAN
                        2.1.Pandangan Sarjana Dan Hukum Positif Terhadap Proses Pemungutan Pajak  3
                        2.2. Nilai-Nilai Filosofis Dalam Pemungutan Pajak   …………………..  5
                        2.3. Meninjau Asas-Asas Yang Telah Menjadi Dasar Pemungutan Pajak  …….. 7
                        2.4. Meninjau Dasar Filosofis Dilakukannya Pemungutan Pajak  …………… 10
                        2.5. Memahami Makna Arti Hukum Pajak Yang Sesungguhnya …………….  13
                        2.6. Jenis dan fungsi pajak      ………………………………………………….  15
BAB III          PENUTUP
                        KESIMPULAN          …………………………………………….               17