Powered By Blogger

Sabtu, 15 Oktober 2011

Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Air


Dua per tiga bagian dari wilayah ini terdiri dari unsur air, dan sepertiga lainnya merupakan unsur darat atau tanah yang terdapat di permukaan laut (air). Kedua unsur inilah yang membentuk pengertian ” tanah air” bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Atas dasar pandangan ini, istilah tanah air menggambarkan unsur air dan tanah sebagai istilah negara yang kita warisi dari nenek moyang sejak dahulu kala sebelum datangnya zaman penjajah.
Pengertian tanah air sebagai pengertian yang mandiri, secara konsepsional dikembangkan dalam wujud ‘wawasan nusantara” yang kemudian diterima sebagai konsep hukum baik dalam ketentuan perundang-undangan nasional maupun dalam Konvensi Hukum Laut Internasional III (UNCLOS III)..
Pengelolan sumber daya air, sebagaimana kebijakaan-kebijakaan pemerintah lainnya, tidak lepas dari perkembangan yang terjadi pada tatanan pemerintah kita yang sejalan dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa sumber daya air dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara adil.
Atas penguasaan sumber daya air oleh negara untuk menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan melakukan pengaturan hak atas air.
Terbitnya UU No.22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, telah memberikan pemerintah daerah untuk memiliki kewenangan yang diberikan pemerintah pusat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, khususnya pengaturan sumber daya air.
Pemerintah Pusat menetapkan suatu kebijakan khusus dalam pengelolaan sumber daya air dengan pengaturan yang dibagi berdasarkan wilayah tertentu mengingat sirklus air yang tidak dapat ditentukan oleh manusia dan meliputi suatu jalur siklus yang sangat luas. Oleh karena itu, meski pun air secara umum termasuk bagian dari pada sumber daya alam yang pengaturannya telah didelegasikan kepada daerah, berdasarkan sifat dan kondisi dari air itu sendiri.
Pasal 1 angka 5 UU No. 11 Tahun 1974 tentang Perairan, bahwa pengairan adalah suatu bidang pembinaan atas air, sumber-sumber air, termasuk kekayaan alam bukan hewani yang terkandung di dalamnya, baik yang alamiah maupun yang telah diusahakan oleh manusia. Untuk kewenangan diatur pada pasal 3 ayat (2) yang menekankan pada pembinaan air dan sumber-sumber lain. Secara umum kewenangan pengelolaan bidang perairan dalam UU tersebut ada pada pemerintah pusat dan dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah, namun UU No.11 Tahun 1974 tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah dapat ditafsir pada Peraturan Pemeritah No. 23 Tahun 1982 tentang Irigasi.
Terbitnya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, menggantikan UU No.11 Tahun 1974 yang tidak berlaku lagi. Kelembagaan pengelolaan sumber daya air dalam pada pasal 1 ayat (7) UU No. 7 Tahun 2004 menyatakan bahwa: pengelolan sumber daya air adalah upaya merancanakan, melaksanakan, memantau, dan pendayagunakan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
Dalam UU sumber daya air, pengelolaan sumber daya air berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta trasparansi dan akuntabilitas ( pasal 2).
Kewenangan pengelolaan sumber daya air dan tanggunjawab, di atur dalam pasal 13- 19 UU No.7 Tahun 2004. Secara umum Undang-undang sumber daya air ini, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk pengelolan sumber daya air dalam kerangka normatif, pada kenyataannya masih tergantung pada pemerintah pusat . Lebih dari itu, secara organisatoris dalam rangka melakukan pengelolaan sumber daya air telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 123 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air, sebagaimana dirubah dengan Keputusan Presiden No.83 Tahun 2002.
Ke depan, kelembagaan yang sudah di atur dalam Undang-undang sumber daya air, harus jelas fungsi dan peruntukannya dalam pengelolaan sumber daya air, khususnya pada pengelolaan ditingkat daerah.
















Oleh Redaksi Surabayakita   
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim mengusulkan dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Renstra Air di Provinsi Jatim agar membuat beberapa pasal yang memberikan suatu kebijakan riil Pemprov Jatim dalam rangka pengeloaan sumber daya air.

Demikian pendapat Gubernur Jatim Dr H Soekarwo terhadap Raperda Provinsi Jatim atas Inisiatif DPRD Jatim Tentang Renstra Air di Provinsi Jatim yang dibacakan Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Jatim Dr Rasiyo MSi, pada Rapat Paripurna DPRD Jatim, di Gedung DPRD Jatim Jl Indrapura Surabaya, Kamis (24/2).

Dia mengatakan, beberapa hal riil terjadi di Jatim berkaitan dengan masalah sumber daya air di antaranya, telah terjadi penurunan dasar sungai Kali Brantas, kerusakan prasarana pengairan, sedimentasi waduk, pencemaran air, dan adanya pemukiman penduduk di daerah sepadan.

Untuk perbaiki kondisi itu, pemprov sependapat bahwa dibutuhkan kebijakan yang akan dituangkan dalam sebuah Peraturan Daerah (Perda) untuk kemudian diimplementasikan di lapangan. Apabila memperhatikan materi dalam Raperda itu sebenarnya sudah sangat komprehensif.

Sebagaimana yang dituangkan dalam ketentuan pasal tiga, kata Rasiyo, bahwa lingkup pengaturan pengelolaan sumber mata air meliputi pertama, proses penyusunan dan penetapan kebijakan pola dan rencana pengeloalaan sumber daya air. Kedua, pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air, operasi dan pemeliharaan sumber data air. Ketiga, konservasi sumber daya air da pendayagunaan air serta pengendalian daya rusak air.

Hanya saja, lanjutnya, dalam pengaturan terhadap ketiga hal itu pada pasal-pasal selanjutnya hendaknya disesuaikan dengan kondisi riil di Jatim sehingga dapat merumuskan kebijakan apa yang akan diambil sehubungan dengan kondisi sumber daya air di Jatim.

Dengan begitu, subtansi materi yang diatur dalam Raperda bukan lagi merupakan pengulangan dari materi yang sudah diatur dalam peraturan pemerintah melainkan sudah merupakan suatu kebijakan riil pemprov Jatim dalam rangka pengelolaan sumber daya air.

Lebih lanjut dia mengatakan, dalam nota penjelasan, usulan Raperda dimaksud didasarkan pada kenyataan bahwa masalah air perlu mendapatkan perhatian yang serius. Karena, sumber-sumber air bersih di Jatim telah mengalami kekrisisan berat dengan menyusutnya ketersediaan hutan lindung.

Selain itu, juga adanya peningkatan pada kebutuhan air yang dikarenakan adanya pula peningkatan jumlah penduduk, peningkatan konsumsi industri dan adanya pemanasan global serta ada problematika pencemaran. “Air merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan manusia yang perlu dijaga kelestariannya. Maka dari itu saya sangat menghargai inisiatif DPRD Jatum untuk mengatur masalah sumber daya air di maksud dalam sebuah Perda,” ujarnya.

Namun demikian, lanjutnya, mencermati substansi materi dalam draft Raperda yang disampaikan DPRD Jatim dapat dikemukakan hal sebagai berikut. Pertama, seluruh substansi materi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, hanya saja tidak memasukkan hal yang berkaitan dengan pasal yang mengatur kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan kab/kota.

“Mencermati subtansi materi dalam PP 42 itu, sebenarnya merupakan acuan bagi pemerintah pusat, pemprov, dan pemerintah kab/kota  dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya air sesuai kewenangannya,” katanya.

Kedua, materi dalam Raperda dimaksud merupakan pengulangan dari apa yang telah diatur dalam PP 42 maka hanya membuat sebatas hal yang harus dipedomani bagi pemerintah dalam rangka pengelolaan sumber daya air, sama sekali belum mencerminkan kebijakan apa yang akan dilakukan pemprov Jatim sehubungan dengan pengelolaan sumber daya air yang secara faktual terjadi di Jatim.

Sesuai UU No 7 tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan PP 42 menyatakan bahwa kewenangan pemprov dalam pengelolaan sumber daya air meliputi beberapa hal, Pertama,  menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada suangai lintas kab/kota. Kedua, menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kab/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya. Ketiga, menetapkan dan mengeloala kawasan lindung sumber daya air pada wilayah sungai lintas kab/kota.(red)
Bottom of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar