Powered By Blogger

Sabtu, 15 Oktober 2011

adat minahasa


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.    Latar belakang
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi anatar bangsa, suku satu dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk mmelakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.
Pernikahan adat yang ada di Indonesia sangatlah beragam, beberapa adat pernikahan tradisional besar yang sering di gunakan untuk mensakralkan acara pernikahan adalah pernikahan adat jawa, pernikahan adat minangkabau, pernikahan adat betawi, pernikahan adat tionghoa, pernikahan adat melayu, pernikahan adat sunda, pernikahan adat batak, pernikahan minahasa, pernikahan modern dan masih banyak adat pernikahan lainnya. Untuk lebih mengenal adat mana yang cocok untuk acara pernikahan anda, maka simaklah beberapa tulisan tentang adat istiadat dan tata cara pernikahan yang ada di blog saya ini, semoga bisa memberi pemahaman dan memberi manfaat bagi anda yang sudah siap menikah.


Seperti kita tahu bahwa Indonesia memiliki beragam suku dan kebudayaan, jadi tidak heran apabila kita sering melihat upacara-upacara adat yang sangat unik. Upacara pernikahan adalah termasuk upacara adat yang harus kita jaga, karena dari situlah akan tercermin jati diri kita, bersatunya sebuah keluarga bisa mencerminkan bersatunya sebuah negara. Mungkin tidak menjadi masalah apabila anda memilih atau menikah dengan orang yang satu suku, namun apa jadinya bila anda menikah dengan orang yang berbeda suku, beda adat dan kebiasaan, pasti anda harus mempunyai bekal pengetahuan tentang seluk beluk, dan tatacara pernikahan pasangan anda bukan? agar nanti anda tidak mati kutu atau bengong, alangkah baiknya anda menyimak acara adat yang saya tulis. Silahkan para calon pengantin memilih dan mempelajari pernikahan adat yang akan anda pakai nanti. Sekali lagi selamat bagi anda yang akan menikah, semoga menjadi keluarga yang bahagia dan langgeng, Amin.
1.2.    Tujuan penelitian
          Tujuan penelitian dalam makalah ini adalah :
1.      Menggali Identitas Minahasa dari Sejarah
2.      Pernikahan Adat Minahasa
1.3.    Rumusan masalah
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka dapat penulis rumuskan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini yaitu “Menggali Identitas Minahasa dari Sejarah dan Bagaimana pernikahan adat minahasa”.






BAB II
ISI PERMASALAHAN

2.1. Menggali Identitas Minahasa dari Sejarah

Minahasa adalah kawasan didalam propinsi di semenanjung Sulawesi Utara di Indonesia, sesuatu daerah yang indah, terletak di bagian utara timur pulau Sulawesi, yang mencakup 27.515 km persegi, terdiri dari empat daerah - Bolaang Mongondow, Minahasa dan kepulauan Sangihe dan Talaud.
Orang Minahasa adalah suatu suku bangsa yang mendiami suatu daerah pada bagian timur laut jazirah sulawesi utara. Luas daerah ini, termasuk kota Manado dan Bitung. Luas daerah ini termasuk kota-kota Manado dan Bitung, kurang dari 6.000 km2. Dalam ucapan umum orang Minahasa menyebut diri merekaorang Manadoatau Touwenang (orang Wenang), orang Minahasa, atau pula Kawanua. Tetangga-tetangganya di sebelah utara adalah orang Sangir dan orang Ta la ud, serta orang Bolaang Mongondow di sebelah selatan. Penduduk Minahasa dapat dibagi ke dalam delapan kelompok subetnik YAITU

a. Tounséa
b. Toumbulu
c. Tountemboan
d. Toulour
e. Tounsawang
f. Pasan
g. Panosakan
h. Bantik
Minahasa, sebuah bangsa yang terletak di jazirah utara pulau Sulawesi, memiliki sejarah yang panjang, seperti halnya bangsa-bangsa lain di republik ini. H.B. Palar, seorang sejarawan dari Minahasa menulis sejarah Minahasa dari zaman kunonya hingga masa penjajahan Belanda dengan menggunakan sumber-sumber dari berbagai perpustakaan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Sehinga, melalui bukunya yang berjudul "Wajah Lama Minahasa" ini, beberapa fakta sejara baru terungkap, demikian beberapa hal lagi bertambah untuk mencari akar identitas orang Minahasa.
Kesulitan untuk mencari mengenai asal usul orang Minahasa adalah karena tidak adanya dokumen tertulis dari masa awal itu yang menceritakan langsung tentang siapa dan kapan nenek moyang orang Minahasa berada di tanah ini. Cerita tentang siapa leluhur Minahasa kebanyakan diambil dari dokumen-dokumen para misionaris Spanyol dan Portugis, serta para zending Belanda. Dokumen-dokumen itu kebanyakan dalam bentuk laporan, yang data-datanya adalah hasil observasi dan apa yang diceritakan secara lisan oleh orang-orang Minahasa di masa itu.
Sejarah orang Minahasa umumnya di tulis oleh orang-orang asing yang datang ke tanah ini dengan maksud penginjilan. Palar mencatat beberapa nama yang sejak abad 19 berusaha mencari jawab mengenai asal usul orang Minahasa, mereka antaranya: Dr. JGF Riedel, Pdt. Wilken, Pdt. J. Wiersma. Meski beragam cerita yang mereka dapat, namun umumnya mereka mengemukakan tiga tokoh sentral terkait dengan nenek moyang orang Minahasa, yaitu Lumimuut, Toar dan Karema.
Karema, dimengerti sebagai "manusia langit", dan Lumimuut dan Toar adalah leluhur dan cikal bakal dari orang-orang Minahasa. Manusia awal di Minahasa yang berasal dari Lumimuut dan Toar, dikisahkan adalah pertama, Makarua Siow atau golongan dua kali sembilan. Kedua, makateluh-pitu atau golongan tiga kali tujuh. Ketiga, Pasiowan telu, atau orang kebanyakan. Tempat semula dari Lumimuut dan Toar serta keturunannya disebut Wulur Mahatus. Kelompok-kelompok awal ini kemudian berkembangan biak dan bermigrasi ke beberapa wilayah di tanah Minahasa.
Ketika keturunan Lumimuut-Toar semakin banyak, maka pada suatu waktu mereka mengadakan rapat di sebuah tempat yang ada batu besarnya (batu itu yang kemudian disebut Watu Pinawetengan). Di sana para leluhur Minahasa bermusyawarah untuk bersepakat tentang pembagian tanah. Peristiwa itu menurut perkiraan terjadi sekitar abad VII atau VIII.
Perkembangan kemudian adalah ketika orang-orang Minahasa terbagi pada beberapa sub etnis. Awalnya ada empat subetnis, yaitu Tombulu, Tonsea dan Toutemboan. Belakangan lahir sub-sub etnis yang lain, yaitu Toulour, Tonsawang, Pasan, dan Bantik.
Nama "Minahasa" sendiri digunakan belakangan setelah masa-masa awal itu. "Minahasa" umumnya diartikan "telah menjadi satu". Palar mencatat, berdasarkan beberapa dokumen sejarah disebut bahwa pertama kali yang menggunakan kata "minahasa" itu adalah J.D. Schierstein, Residen Manado, dalam laporannya kepada Gubernur Maluku pada 8 Oktober 1789. "Minahasa" dalam laporan itu diartikan sebagai "Landraad" atau "Dewan Negeri" atau juga "Dewan Daerah".
Dalam sejarahnya di tahun-tahun itu, selain Minahasa pernah terlibat perang dengan Bolaang Mongondow, Minahasa juga pernah berperang dengan Spanyol yang dimulai tahun 1617 dan berakhir tahun 1645. Perang ini dipicu oleh ketidakadilan Spanyol terhadap orang-orang Minahasa, terutama dalam hal perdagangan beras, sebagai komoditi utama waktu itu. Perang terbuka terjadi nanti pada tahun 1644-1646. Akhir dari perang itu adalah kekalahan total Spanyol, sehingga berhasil diusir oleh para waranei (ksatria-ksatria Minahasa).
Di rentang tahun 1679 sampai 1809, adalah masa Kompeni Belanda dengan VOCnya. Di masa ini terjadinya ketegangan yang cukup panas antara hukum adat orang Minahasa dengan hukum Belanda. Perjumpaan antara orang-orang Belanda dengan Minahasa memang tidak terjadi secara baik, karena motivasi orang-orang Belanda sudah tentu ada menjajah. Sementara orang Minahasa tidak suka dijajah. Sejumlah perjanjianpun dibuat untuk berusaha menaklukan orang Minahasa. Tapi, perlawanan pun harus terjadi, puncaknya adalah Perang Tondano yang terjadi tahun 1808 sampai 1809.
Perang Tondano, yang berlangsung selama 11 bulan dan 4 hari itu, terjadi secara herois. Demi mempertahankan kedaulatan Tanah Minahasa, para waranei Minahasa rela mati. Pada tanggal l4 malam jelang tanggal 5 Agustus 1809, perang berkecemuk dengan sengitnya, dan berakhir dengan kakalahan orang Minahasa. Fakta sejarah ini, sekaligus membuktikan bahwa orang Minahasa adalah orang-orang yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kemedekaan tanahnya. Sekaligus juga mengkoreksi stigma banyak orang kepada orang-orang Minahasa, bahwa "orang-orang Minahasa penjilat Belanda". Stigma itu sudah tentu tidak benar, karena Perang Tondano, adalah Perang Minahasa melawan Belanda.
2.1.1. ASAL USUL SUKU MINAHASA ANAK SUKU TONSEA
Di tanah Minahasa sendiri kaum pendatang mempunyai ciri seperti: Kaum Kuritis yang berambut keriting, Kaum Lawangirung (berhidung pesek) Kaum Malesung/ Minahasa yang menurunkan suku-suku : Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Suku Bantenan (Pasan,Ratahan),Tonsawang, Suku Bantik masuk tanah minahasa sekitar tahun 1590 . Suku Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan Jepang, yang berakar pada bangsa Mongol didataran dekat Cina. Hal ini nyata tampak dalam bentuk fisik seperti mata, rambut, tulang paras, bentuk mata, dan lain-lain.
Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina Tetua- tetua Minahasa menurunkan sejarah kepada turunannya melalui cerita turun temurun biasanya dilafalkan oleh Tonaas saat kegiatan upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak baik bagi masyarakat setempat saat memulai tahun yang baru dan dari hal kegiatan tersebut diketahui bahwa Opo Toar dan Opo Lumimuut adalah nenek moyang masyarakat Minahasa, meskipun banyak versi tentang riwayat kedua orang tersebut.
Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung Wulur Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan minahasa. Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu yang lebih berkuasa atas manusia sudah dijalankan diMinahasa sejak awa
2.1.2. SISTEM PEMERINTAHAN
Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang berarti Orang tua yang melindungi. Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. Tua : dewasa dalam usia, berpikir, serta didalam mengambil Kehidupan demokrasi dan kerakyatan terjamin Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat dengan sewenang- wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya sendiri Sebelum membuka perkebunan, berunding dahulu dan setelah itu dilakukan harus dengan mapalus Didalam bekerja terdapat pengatur atau pengawas yang di Tonsea disebut Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebut Sumesuweng.
Di Minahasa tidak dikenal sistim perbudakan, sebagaimana lasimnya di daerah lain pada saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo, Tidore dll. Hal ini membuat beberapa dari golongan Walian Makaruwa Siyow (eksekutif ingin diperlakukan sebagai raja. seperti raja Bolaang, raja Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat barter bahan bahan keperluan rumah tangga. Setelah cara tersebut dicoba diterapkan dimasyarakat Minahasa oleh beberapa walian/hukum tua timbul perlawanan yang memicu terjadinya pemberontakan serentak di seluruh Minahasa oleh golongan rakyat /Pasiyowan Telu, Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang diturunkan Opo Toar Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang.
Akibat pemberontakkan itu, tatanan kehidupan di Minahasa menjadi tidak menentu, peraturan tidak diindahkan Adat istiadat rusak, Perebutan tanah pertanian antar keluarga Hal ini membuat golongan makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambil tindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh Tonaas-tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan
Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai ke muara sungai Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah sungai Ranoyapo dan Poigar, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan Bolaang Mongondow, sampai kira-kira abad ke 14.
Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar Lumimuut, memilih Tonaas Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari Tombulu dan Tonaas Mandey dari Tonsea.mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga golongan Minahasa tsb. 

2.1.3. BAHASA
Di Minahasa ada sekitar empat bahasa daerah diantaranya bahasa Totemboan, Tombulu, Tonsea, Bantik, Tonsawang. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota Tomohon selain menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan juga menggunakan bahasa daerah Minahasa. Seperti diketahui di Minahasa terdiri dari delapan macam jenis bahasa daerah yang dipergunakan oleh delapan etnis yang ada, seperti Tountemboan, Toulour, Tombulu, dll. Bahasa daerah yang paling sering digunakan di Kota Tomohon adalah bahasa Tombulu, karena memang wilayah Tomohon termasuk dalam etnis Tombulu. Selain bahasa percakapan di atas, ternyata ada juga masyarakat di Minahasa dan Kota Tomohon khususnya para orang tua yang menguasai Bahasa Belanda karena pengaruh jajahan dari Belanda serta sekolah-sekolah jaman dahulu yang menggunakan Bahasa Belanda. Saat ini, semakin hari masyarakat yang menguasai dan menggunakan Bahasa Belanda tersebut semakin berkurang seiring dengan semakin berkurangnya masyarakat berusia lanjut.

2.2. Pernikahan Adat Minahasa

Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses perawatan calon pengantin serta acara "Posanan" (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.

Bacoho (Mandi Adat)

Setelah mandi biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi lalu mencuci rambut dengan bahan pencuci rambut yang banyak dijual di toko, seperti shampoo dan hair tonic. Mencuci rambut "bacoho" dapat delakukan dengan dua cara, yakni cara tradisional ataupun hanya sekedar simbolisasi.
Tradisi : Bahan-bahan ramuan yang digunakan adalah parutan kulit lemong nipis atau lemong bacoho (citrus limonellus), fungsinya sebagai pewangi; air lemong popontolen (citrus lemetta), fungsinya sebagai pembersih lemak kulit kepala; daun pondang (pandan) yagn ditumbuk halus, fungsinya sebagai pewangi, bunga manduru (melati hutan) atau bunga rosi (mawar) atau bunga melati yang dihancurkan dengan tangan, dan berfungsi sebagai pewangi; minyak buah kemiri untuk melemaskan rambut dicampur sedikit perasan air buah kelapa yang diparut halus. Seluruh bahan ramuan harus berjumlah sembilan jenis tanaman, untuk membasuh rambut. Sesudah itu dicuci lagi dengan air bersih lalu rambut dikeringkan.
Simbolisasi : Semua bahan-bahan ramuan tersebut dimasukkan ke dalam sehelai kain berbentuk kantong, lalu dicelup ke dalam air hangat, lalu kantong tersebut diremas dan airnya ditampung dengan tangan, kemudian digosokkan kerambut calon pengantin sekadar simbolisasi.
Lumele’ (Mandi Adat): Pengantin disiram dengan air yang telah diberi bunga-bungaan warna putih, berjumlah sembilan jenis bunga yang berbau wangi, dengan mamakai gayung sebanyak sembilan kali di siram dari batas leher ke bawah. Secara simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka oleh pengantin itu sendiri, kemudian mengeringkannya dengan handuk yang bersih dan belum pernah digunakan sebelumnya.

Upacara Perkawinan

Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita.
Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun keluarga wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan pesta perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang Minahasa penganut agama Kristen tertentu yang mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara kebaktian dan makan malam.
Orang Minahasa di kota-kota besar seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).
Contoh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan dalam satu hari :
Pukul 09.00 pagi, upacara Toki Pintu. Pengantin pria kerumah pengantin wanita sambil membawa antaran (mas kawin), berupa makanan masak, buah-buahan dan beberapa helai kain sebagai simbolisasi. Wali pihak pria memimpin rombongan pengantin pria, mengetuk pintu tiga kali.
Pertama : Tiga ketuk dan pintu akan dibuka dari dalam oleh wali pihak wanita. Lalu dilakukan dialog dalam bahasa daerah Minahasa. Kemudian pengantin pria mengetok pintu kamar wanita. Setelah pengantin wanita keluar dari kamarnya, diadakan jamuan makanan kecil dan bersiap untuk pergi ke Gereja.
Pukul 11.00-14.00 : Melaksanakan perkawinan di Gereja yang sekaligus dinikahkan oleh negara, (apabila petugas catatan sipil dapat datang ke kantor Gereja). Untuk itu, para saksi kedua pihak lengkap dengan tanda pengenal penduduk (KTP), ikut hadir di Gereja.
Pukul 19.00 : Acara resepsi kini jarang dilakukan di rumah kedua pengantin, namun menggunakan gedung / hotel.
Apabila pihak keluarga pengantin ingin melaksanakan prosesi upacara adat perkawinan, ada sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang dapat melaksanakannya. Dan prosesi upacara adat dapat dilaksanakan dalam berbagai sub-etnis Minahasa, hal ini tergantung dari keinginan atau asal keluarga pengantin. Misalnya dalam versi Tonsea, Tombulu, Tontemboan ataupun sub-etnis Minahasa lainnya.
Prosesi upacara adat berlangsung tidak lebih dari sekitar 15 menit, dilanjutkan dengan kata sambutan, melempar bunga tangan, potong kue pengantin , acara salaman, makan malam dan sebagai acara terakhir (penutup) ialah dansa bebas yang dimulai dengan Polineis.

Prosesi Upacara Perkawinan di Pelaminan

Penelitian prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Minahasa Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun 1986 di Minahasa. Wilayah yang diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano dan Tontemboan oleh Alfred Sundah, Jessy Wenas, Bert Supit, dan Dof Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis tersebut mengenal upacara Pinang, upacara Tawa’ang dan minum dari mangkuk bambu (kower). Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya dikenal oleh sub-etnis Tombulu dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara membelah setengah tiang jengkal kayu Lawang dan Tonsea-Maumbi mengenal upacara membelah Kelapa.
Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan memanjatkan doa oleh Walian disebut Sumempung (Tombulu) atau Sumambo (Tontemboan). Kemudian dilakukan upacara "Pinang Tatenge’en". Kemudian dilakukan upacara Tawa’ang dimana kedua mempelai memegang setangkai pohon Tawa’ang megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah membelah kayu bakar, simbol sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong kayu bakar, Tombulu membelah dua. Selanjutnya kedua pengantin makan sedikit nasi dan ikan, kemudian minum dan tempat minum terbuat dari ruas bambu muda yang masih hijau. Sesudah itu, meja upacara adat yang tersedia didepan pengantin diangkat dari pentas pelaminan. Seluruh rombongan adat mohon diri meniggalkan pentas upacara. Nyanyian-nyanyian oleh rombongan adat dinamakan Tambahan (Tonsea), Zumant (Tombulu) yakni lagu dalam bahasa daerah.
Bahasa upacara adat perkawinan yang digunakan, berbentuk sastra bahasa sub-etnis Tombulu, Tontemboan yang termasuk bahasa halus yang penuh perumpamaan nasehat. Prosesi perkawinan adat versi Tombulu menggunakan penari Kabasaran sebagai anak buah Walian (pemimpin Upacara adat perkawinan). Hal ini disebabkan karena penari Kabasaran di wilayah sub-etinis lainnya di Minahasa, belum berkembang seperti halnya di wilayah Tombulu. Pemimpin prosesi upacara adat perkawinan bebas melakukan improvisasi bahasa upacara adat. Tapi simbolisasi benda upacara, seperti : Sirih-pinang, Pohon Tawa’ang dan tempat minum dari ruas bambu tetap sama maknanya.











BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sejarah Minahasa dibagi dalam empat babakan yaitu : zaman pra malesung, malesung, Minaesa, dan Minahasa. Periodisasi ini berdasarkan peristiwa sejarah yang penting yaitu pada sekitar tahun 700M yatu peristiwa watu tumotowa.Dalam peristiwa watu tomotowa wilayah Minahasa di bagi menjadi emapt wilayah yang disebut puak. Ada emapt puak utama yaitu : Puak Toumuung, Tonsea, Toulour, dan Tontemboan dengan demikian watu tumotowa memilki arti batu pembagian yang wilayah bagi orang minahasa. Peristiwa watu tumotowa memilki arti penting karena merupakan awal dari berdirinya Minahasa Raya yang disebut deklarasi MAESA I. Pada sekitar tahun 1428 terjadi peristiwa penting lagi yaitu peristiwa MAESA II dimana dijadikan dasar dari hari ulang tahun Minahasa, dalam peristiwa tersebut jumlah puak dari anak bangsa Minahasa bertmbah lima yaitu : puak Tousingin, Wangko, Ponosakan, Bantik dan Babontehu. Dalam perjalanan sejarahnya terjadi beberapa kali perubahan diantaranya terjadi fusi antara puak Bantik dan Babontaho menjadi satu lalu dengan demikian mulailah dikenal 7 sub etnis Minahasa
Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses perawatan calon pengantin serta acara "Posanan" (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.
Saran
Kebudayaan Indonesia itu banyak sekali sudah seharusnyalah kita berbangga dan menghargai kebudayaan kita ini. Dari Sabang sampai Merauke puluhan budaya Indonesia tidak bisa terkira dan ternilai harganya. Kita sebagai generasi muda sudah seharusnya bisa membudayakan dan melestarikan kebudayaan asli Indonesia dan jangan hanya atau bisa mencontoh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma atau nilai adat ke-timur-timuran. Umumnya masyarakat Indonesia lebih bangga terhadap budaya asing yang lebih mengedepankan budaya yang bermewah-mewah dan lebih gaya tapi melupakan budaya asli. Setelah diklaim oleh bangsa lain barulah kita rebut dan ingin mempertahankannya. Hal inilah yang membuktikan bahwa masih kurangnya penghargaan dan juga penghormatan kepada budaya asli Indonesia sehingga setelah hak kekayaan intelektualnya diakui oleh orang atau bangsa lain kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Sudah saatnya kita bangkit dan melestarikan budaya kita, walaupun Negara kita ini menggunakan asas demokrasi akan tetapi ada nilai-nilai yang perlu kita hormati dan junjung tinggi yaitu nilai budaya yang tidak ternilai harganya. Bangsa lain saja bisa menghargai keberanekaragaman budaya kita bahkan mereka mengakui itu tapi kenapa kita tidak bisa menghargai dan juga mempertahankanya. Jangan sampai budaya asli kita kalah atau luntur karena budaya asing yang masuk tapi juga harus bisa mempertahankan dan menjaga serta mempromosikan budaya kita agar dikenal oleh bangsa lain. Oleh karena itu nilai kebanggaan perlu kita tanamkan dan juga kita tegakkan agar kita bisa menjadi bangsa yang berbudaya dan bisa menghargai budayanya.



1 komentar: